Pajak Subjektif Adalah: Jenis, Contoh, dan Bedanya dengan Pajak Objektif

pajak subjektif adalah

Pajak subjektif adalah satu dari sekian jenis pajak yang berlaku di Indonesia. Jenis pajak ini dikenakan kepada wajib pajak (WP) yang sudah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Akan tetapi, istilah pajak subjektif ini masih sering disamakan dengan jenis pajak objektif. Padahal keduanya sangat berbeda, lho. Memang, apa saja bedanya?

Cari tahu selengkapnya mengenai pajak subjektif mulai dari pengertian, subjek, contoh, dan bedanya dengan pajak objektif di artikel ini.

Pajak Subjektif Adalah:

pajak subjektif adalah

Pajak subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan pada WP perorangan yang sudah mempunyai NPWP sehingga memiliki hak dan kewajiban pajak. Jadi, pada dasarnya setiap WNI memiliki kewajiban untuk membayar pajak ini. Apabila mereka mangkir dari kewajiban, mereka bisa dikenakan sanksi.

Dari definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa pajak subjektif merupakan pungutan yang berasal dari WP terutama WP perorangan yang mempunyai NPWP.

Adapun yang termasuk ke dalam jenis pajak subjektif yaitu pajak penghasilan atau yang biasa kita kenal sebagai PPh. Besaran PPh didasarkan atas total penghasilan WP perorangan selama satu tahun pajak.

PPh tersebut dikenakan kepada WP yang memperoleh tambahan nilai ekonomis dari pendapatannya. PPh ini diatur oleh UU dan dijabarkan menjadi beberapa jenis yang memiliki aturan dan ketentuan tersendiri.

Baca juga: Jenis Pajak Penjualan di Indonesia dan Cara Menghitungnya

Siapa yang Menjadi Subjek Pajak?

Subjek pajak adalah individu atau badan perusahaan yang dikenai kewajiban membayar pajak. Berikut ini adalah pembahasan mengenai WP subjektif yang telah diatur oleh hukum di Indonesia.

Individu

Individu adalah subjek pajak perorangan yang mendapatkan penghasilan atas kegiatan ekonominya yang dilakukan di dalam negeri. Subjek ini berlaku baik untuk WNA mupun WNI yang bekerja dan mendapatkan penghasilan di Indonesia.

Badan atau Perusahaan

WP subjektif selanjutnya adalah badan atau perusahaan yang meliputi organisasi, badan usaha, dan perusahaan yang beroperasi dan menghasilkan keuntungan di Indonesia.

Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi badan nirlaba dan badan usaha lainnya yang dibiayai pemerintah lewat APBD dan APBN.

Bentuk Usaha Tetap (BUT)

WP subjektif yang ketiga adalah badan usaha tetap (BUT) yaitu badan atau perusahaan yang didirikan oleh individu atau kelompok yang tidak tinggal di Indonesia akan tetapi melakukan kegiatan ekonomi dan menghasilkan keuntungan di Indonesia.

Beberapa contoh sederhananya ialah perusahaan multinasional, yang sebenarnya berasal dari luar negeri dan membuka kantor maupun anak perusahaan di Indonesia seperti Unilever dan Samsung.

Warisan yang Belum Terbagi

Warisan adalah sejumlah hart yang ditinggalkan pemilik harta untuk kemudian diberikan kepada ahli waris. Akan tetapi, sebelum harta tersebut dibagikan, harta tersebut dikenakan pajak yang harus dibayar oleh para ahli waris.

Jadi, pajak pada warisan harus dibayar sebelum harta tersebut dibagikan. Semua pembayaran pajak tersebut harus dibayarkan oleh ahli waris yang disebut sebagai subjek pajak.

Baca juga: Laporan Pajak Tahunan: Pembahasan Lengkap dan Panduannya

Contoh Pajak Subjektif

Ada 4 jenis PPh yang termasuk ke dalam pajak subjektif yaitu PPh pasal 15, PPh pasal 21, PPh pasal 22, dan PPh pasal 23. Berikut merupakan penjelasan secara lebih lengkapnya:

PPh Pasal 15

PPh pasal 15 dibebankan pada individu maupun badan usaha yang dihitung secara khusus sesuai dengan tarif pajak yang telah ditentukan. Adapun contohnya seperti pajak pada industri pelayaran dan industri penerbangan.

PPh Pasal 21

PPh pasal 21 ini dikenakan pada subjek pajak yang berupa upah, honorarium, gaji, komisi, dan penghasilan lainnya.

Semakin besar nominal penghasilan yang diperoleh wajib pajak, maka semakin besar pula beban pajak yang harus dibayarkan. Subjek PPh pasal 21 ini diharuskan mempunyai NPWP. Apabila mereka tidak memiliki NPWP, besaran pajaknya menjadi lebih besar.

PPh Pasal 22

PPh pasal 22 mengatur beban pajak yang berkaitan dengan kegiatan impor yang dilakukan wajib pajak. Selain itu, PPh 22 juga mengatur pajak yang dikenakan atas berbagai barang mewah.

PPh Pasal 23

PPh pasal 23 merupakan pajak yang dibebankan atas transaksi dividen, bunga, hadiah, sewa, dan berbagai biaya yang lain.

Banner 1 kledo

Jadi, Apa Bedanya dengan Pajak Objektif?

pajak subjektif adalah

Guna memahami apa saja perbedaan pajak subjektif vs pajak subjektif, yuk terlebih dahulu kita pelajari beberapa poin penting di bawah ini.

Apa Itu Pajak Objektif?

Pajak objektif adalah jenis pajak yang dikenakan atas dasar sifat objek pajak tanpa melihat bagaimana kondisi subjek pajaknya (Wajib Pajak).

Sederhananya, pajak objektif berfokus pada sifat dan bentuk objek pajak yang meliputi keadaan, perbuatan, peristiwa, maupun benda yang bisa menimbulkan hutang pajak untuk kemudian ditetapkan siapa subjek pajaknya.

Ketika menetapkan siapa subjek pajaknya, pihak otoritas tidak mempersoalkan apakah subjek pajak tersebut berdomisili di Indonesia maupun di luar Indonesia.

Baca juga: Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Pebisnis Saat Musim Pajak

Contoh Pajak Objektif

Untuk tarif pajak objektif ini disesuaikan dengan kebijakan hukum yang berlaku berdasarkan kriteria penghasilan. Berikut ini adalah kriteria pajak objektif, yaitu:

Berlaku bagi orang pribadi atau badan usaha yang menggunakan atau bertransaksi atas objek kena pajak pajak yang berkaitan dengan pemindahan harta kekayaan dari Indonesia ke luar negeri, pajak atas kekayaan, kepemilikan barang mewah atau harta kekayaan di negara lain.

Adapun contoh pajak objektif tersebut, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak tersebut dikenakan atas barang atau jasa yang berasal dari hasil transaksi yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Ini adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak untuk penggunaan atau penggunaan tanah atau bangunan yang bernilai ekonomi.

Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)

Pajak ini dibebankan kepada Wajib Pajak untuk transaksi barang mewah atau barang yang nilainya sangat tinggi.

Baca juga: Tarif, Cara Hitung dan Cara Membayar Perpajakan UMKM

Perbedaan Pajak Subjektif vs Pajak Objektif

Setelah membahas pengertian pajak subyektif dan obyektif, mari kita bahas perbedaan kedua jenis pajak tersebut. Adapun perbedaan paling mendasar antara kedua pajak ini adalah sifatnya yang dijelaskan sebagai berikut:

Pajak subyektif adalah pajak yang memfokuskan pada wajib pajaknya

Dasar atau fokus pajak subjektif ini adalah pada subjek perpajakannya (orang/badan), sedangkan fokus perpajakan objektif adalah pada objek (benda) perpajakannya.

Oleh karena itu, pajak subyektif di sini lebih menitikberatkan pada situasi atau keadaan wajib pajak yang bersangkutan.

Pajak Objektif adalah pajak yang menitikberatkan pada nilai objek pajak

Pajak objektif yang diperhatikan dan difokuskan adalah nilai objek pajak. Keduanya melakukan tugas mereka sendiri, dan manfaat yang mereka berikan kepada rakyat dan negara sama pentingnya.

Yang dimaksud dalam perpajakan objektif adalah benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang dapat menimbulkan suatu kewajiban pajak dan kemudian ditentukan bagi badan tersebut. Namun, pajak objektif ini tidak berfokus pada apakah subjek tersebut berdomisili di Indonesia.

Untuk tarifnya sendiri mengikuti hukum yang berlaku dan memenuhi kriteria pendapatan. Dengan demikian, pungutan ini berlaku bagi orang pribadi dan badan yang menggunakan atau bertransaksi di BKP, pajak yang berkaitan dengan pengalihan harta, dan pajak atas kepemilikan barang mewah dan mewah di negara lain.

Kesimpulan

Itulah pembahasan mengenai pajak subjektif dan beberapa poin yang membedakannya dengan pajak objektif. Sebagai pemilik bisnis, Anda perlu mengetahui besaran pajak yang harus dibayarkan agar sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia.

Namun, menghitung pajak secara manual memakan waktu yang sangat lama. Untuk itu, And bisa menggunakan bantau software akuntansi seperti Kledo yang tidak hanya memudahkan proses pembukuan bisnis namun juga memudahkan pengelolaan pajak bisnis Anda.

Tertarik mencoba? Anda punya kesempatan mencoba Kledo gratis selama 14 hari atau selamanya melalui tautan ini.

Annisa Herawati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7 − seven =