Ending Inventory: Pengertian dan Cara Menghitungnya

ending inventory banner

Untuk memaksimalkan keuntungan di bisnis retail, biasanya Anda perlu menghitung ending inventory.

Ending inventory bukanlah sekadar angka yang menunjukkan jumlah sisa barang Anda di gudang, tapi kunci mengetahui kinerja inventaris Anda.

Dengan informasi ini, Anda bisa membuat keputusan pembelian yang lebih baik, menghindari kelebihan stok, dan juga menjaga arus kas yang lebih baik.

Jika Anda menghitung ending inventory dengan benar, maka bisnis Anda bisa semakin kompetitif. Nah, artikel ini akan membahas beberapa metode untuk menghitungnya. Simak penjelasannya ya!

Apa itu Ending Inventory?

Singkatnya, ending inventory adalah sisa barang yang belum terjual pada akhir periode akuntansi.

Jika suatu bisnis menjual produk, maka pada akhir periode, kemungkinan akan ada beberapa produk yang tersisa. Inilah yang disebut ending inventory.

Bagi bisnis dari industri apa pun, menghitung ending inventory sangatlah penting karena bisa membantu Anda memahami kondisi terkini dari aset Anda dan juga keuntungan Anda.

Jika Anda memiliki software manajemen inventaris, maka Anda tidak perlu menghitung ending inventory secara manual, karena software biasanya akan otomatis melaporkannya.

Namun jika tidak, maka Anda bisa menggunakan berbagai metode untuk menghitungnya.

pos banner 3

Baca Juga: Biaya Persediaan (Inventory Costing): Pengertian, Metode dan Contohnya

Mengapa Anda Perlu Menghitung Ending Inventory?

Ending inventory bukanlah sekadar metrik yang Anda lihat pada akhir tahun, tapi juga metode penilaian persediaan yang penting untuk Anda perhatikan.

Berikut empat alasannya:

1. Menghitung jumlah persediaan secara akurat

Melakukan perhitungan inventaris fisik adalah cara terbaik untuk menghitung ending inventory.

Meskipun menghitung setiap produk di toko terasa merepotkan, hal ini memastikan produk di rak sesuai dengan catatan pembukuan.

Ini juga membantu menemukan stok yang mungkin tersembunyi di gudang belakang dan mengidentifikasi tren operasional, seperti kesalahan penerimaan barang.

Misalnya, jika ending inventory untuk produk rumah tangga Anda tercatat Rp50.000.000, tetapi hasil hitung fisik menunjukkan total nilai barang di gudang hanya Rp46.500.000, berarti Anda memiliki phantom inventory dan perlu mencari tahu penyebab shrinkage.

Penyebabnya bisa berupa pencurian oleh karyawan, penipuan retur, atau pencurian oleh pelanggan.

Perhitugnan yang tepat juga membantu Anda merencanakan berapa anggaran yang perlu Anda keluarkan untuk membeli stok baru.

Misalnya, Anda masih memiliki stok barang senilai Rp75.000.000, maka tidak masuk akal jika Anda menganggarkan Rp100.000.000 untuk membeli stok baru kan?

Dalam masalah inventaris, jangan sekadar mengandalkan intuisi atau membeli safety stock berlebihan jika stok layak jual masih menumpuk di gudang.

2. Menghitung laba bersih

Laba bersih atau net income adalah salah satu metrik keuangan terpenting. Ini adalah jumlah uang yang tersisa di rekening Anda setelah membayar semua pengeluaran seperti gaji staf, pajak, dan biaya produksi.

Dalam periode tertentu, biasanya laba bersih tercatat di laporan laba rugi (income statement).

Bandingkan nilai ending inventory dengan net income untuk melihat apakah Anda membayar terlalu mahal untuk barang atau menjualnya dengan harga terlalu rendah.

Contohnya, jika ending inventory Anda Rp25.000.000 tetapi net income hanya Rp20.000.000, berarti Anda memiliki lebih banyak uang yang tertahan di persediaan dibandingkan yang dihasilkan dari penjualan.

Kemungkinan penyebabnya karena Anda membeli stok dengan harga terlalu mahal.

Karena itu, cobalah bernegosiasi dengan pemasok atau menaikkan harga jual untuk mendapatkan rasio net income terhadap ending inventory yang lebih baik.

Baca Juga: Pengertian Average Inventory, Cara Hitung, dan Penggunaannya

3. Menjadi acuan laporan di masa depan

Setelah tahun berakhir, ending inventory yang tercatat di neraca akan menjadi starting inventory untuk tahun berikutnya.

Sebagai contoh, jika ending inventory tahun 2022 senilai Rp200.000.000, maka angka tersebut akan menjadi starting inventory di tahun 2023.

Setelah 2023 berakhir, Anda akan menggunakannya untuk menghitung ending inventory tahun tersebut.

Perhitungan ini akan jauh lebih mudah jika ending inventory tahun sebelumnya akurat.

4. Mendapatkan pendanaan

Anda ingin menambah modal untuk membeli stok baru atau merekrut karyawan retail tambahan?

Biasanya, pemberi pinjaman akan meminta laporan keuangan sebelum menyetujui pembiayaan.

Nah, jika Anda memiliki penilaian persediaan, pencatatan stok, dan laporan penjualan yang akurat, Anda bisa menunjukkannya pada pemberi pinjaman untuk memberi gambaran tentang profitabilitas serta volume permintaan bisnis Anda.

Ending inventory adalah salah satu metrik yang dilihat pemberi pinjaman karena dianggap sebagai aset.

Mereka mungkin lebih bersedia memberikan pembiayaan dengan syarat yang lebih menguntungkan jika bisnis Anda memiliki rasio utang terhadap aset yang rendah.

Baca Juga: Tips Melakuan Inventory Monitoring, Metode, dan Tahapannya

Cara Menghitung Ending Inventory

ending inventory 1

Ada metode dasar untuk menghitung ending inventory.

Anda hanya perlu mengambil beginning inventory pada awal periode akuntansi saat ini, menambahkan biaya pembelian baru, lalu menguranginya dengan harga pokok penjualan (Cost of Goods Sold atau COGS).

Ending inventory = Persediaan awal + Pembelian bersih – Harga Pokok Penjualan (HPP)

  • Persediaan awal adalah nilai persediaan di awal periode, yang sama dengan nilai ending inventory dari periode akuntansi sebelumnya.
  • Pembelian bersih adalah biaya dari semua barang yang dibeli dan ditambahkan ke persediaan selama periode akuntansi.
  • HPP adalah biaya produksi dan/atau pembelian barang jadi yang terjual selama periode tersebut.

Metode ending inventory

Ada beberapa metode untuk menghitung ending inventory, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Semua metode penilaian menggunakan rumus dasar ending inventory yang telah disebutkan di atas.

Banyak perusahaan menggunakan metode FIFO atau WAC karena cenderung lebih akurat untuk kebutuhan mereka dan mungkin lebih mudah diterapkan.

Berikut ini adalah beberapa metode untuk menghitungnya:

1. First in, first out (FIFO)

Metode FIFO mengasumsikan bahwa barang dijual sesuai urutan barang tersebut dibeli.

Oleh karena itu, perhitungan COGS (biaya barang yang terjual selama periode) didasarkan pada persediaan yang dibeli paling awal.

Pendekatan ini mengikuti cara kerja banyak perusahaan yang menjual barang lama terlebih dahulu untuk memberi ruang bagi barang baru di persediaan mereka.

Karena harga bahan baku dan barang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, metode ini sering menghasilkan COGS yang lebih rendah dan laba kotor yang lebih tinggi daripada metode lain untuk menghitung ending inventory.

Laba yang lebih tinggi ini dapat berarti beban pajak penghasilan yang lebih besar pada periode berjalan.

Kelebihan FIFO

  • Perhitungan persediaan mengikuti strategi penjualan yang umum, yaitu barang tertua dijual sebelum yang baru.
  • Sering kali mendekati biaya persediaan yang sebenarnya karena harga bahan cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

Kekurangan FIFO

  • Laba yang dilaporkan tinggi, sehingga dapat memberikan gambaran yang kurang sesuai dengan kinerja bisnis yang sebenarnya.
  • Dapat menghasilkan nilai aset untuk ending inventory yang terlalu tinggi dan tidak realistis.

2. LIFO (Last In, First Out)

LIFO mengasumsikan bahwa persediaan yang dibeli terakhir dijual terlebih dahulu.

Ketika harga sedang naik, LIFO meningkatkan COGS sehingga menghasilkan laba kotor dan pajak penghasilan yang lebih rendah untuk periode berjalan.

COGS yang lebih tinggi juga menyebabkan nilai ending inventory lebih rendah.

Metode ini diperbolehkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat. Namun, melansir IDE Times, Indonesia sendiri melarang penggunaan metode ini karena dianggap mendistorsi laporan keuangan karena hasil perhitungan laba yang lebih kecil daripada metode FIFO.

Kelebihan LIFO

  • Saat harga naik, perusahaan melaporkan COGS yang lebih tinggi dan laba kotor yang lebih rendah, sehingga dapat mengurangi beban pajak pada periode berjalan.
  • Lebih mencerminkan biaya nyata untuk mengganti persediaan saat ini; mencocokkan biaya terbaru dengan pendapatan terbaru.

Kekurangan LIFO

  • Membutuhkan pencatatan dan praktik akuntansi yang kompleks karena biaya persediaan yang belum terjual tetap ada di sistem pembukuan.
  • Dapat meremehkan nilai persediaan.
  • Dilarang di Indonesia dan berbagai negara.

3. WAC (Weighted Average Cost)

ending inventory 2

Dengan metode ini, perusahaan cukup menghitung rata-rata semua biaya persediaan untuk menentukan COGS dan ending inventory.

WAC sangat berguna jika perusahaan menjual banyak barang identik.

Dalam kasus ini, perhitungan ending inventory menjadi lebih sederhana karena tidak perlu melacak biaya pembelian masing-masing barang secara individual.

Namun, metode ini kurang efektif jika perusahaan menjual berbagai produk dengan harga dan biaya yang sangat bervariasi.

Kelebihan WAC

  • Mempermudah perhitungan untuk volume besar barang identik.
  • Meratakan fluktuasi biaya.
  • Memahami biaya persediaan rata-rata dapat membantu dalam menetapkan harga barang baru pada periode akuntansi berikutnya.

Kekurangan WAC

  • Paling sesuai untuk perusahaan yang menjual banyak barang identik. Perhitungan menjadi lebih rumit jika perusahaan menjual berbagai jenis produk.
  • Jika terdapat fluktuasi biaya persediaan yang besar, perusahaan bisa saja menjual beberapa barang dengan kerugian.

Baca Juga: Mengenal Sistem Inventory dalam Bisnis dan Tips Memilihnya

4. Gross Profit Method

Metode gross profit digunakan untuk memperkirakan nilai ending inventory dalam situasi di mana penghitungan jumlah persediaan secara fisik tidak memungkinkan.

Anda bisa menggunakan metode ini untuk mendapatkan gambaran kasar nilai persediaan atau untuk memperkirakan sisa persediaan setelah terjadi kerugian akibat kebakaran, banjir, atau pencurian.

Metode ini menggunakan margin laba kotor (gross profit margin) yang diharapkan perusahaan pada periode berjalan sebagai titik awal untuk memperkirakan COGS dan ending inventory.

Perusahaan sering kali menggunakan margin laba kotor historis sebagai acuan untuk margin yang diharapkan saat ini.

Gross profit margin adalah laba kotor yang dinyatakan sebagai persentase dari penjualan bersih (net sales).

Langkah menghitung metode gross profit:

  1. Kalikan penjualan bersih pada periode berjalan dengan (1 – margin laba kotor yang diharapkan) untuk mendapatkan perkiraan COGS.
  2. Gunakan rumus penilaian persediaan standar: jumlahkan beginning inventory dan biaya semua pembelian persediaan tambahan hingga saat ini, lalu kurangi dengan perkiraan COGS untuk mendapatkan ending inventory.

Kelebihan Gross Profit Method

  • Cara cepat untuk memperkirakan persediaan selama periode akuntansi tanpa melakukan penghitungan fisik.
  • Bisa untuk memperkirakan persediaan setelah kerugian akibat kebakaran atau bencana lainnya.

Kekurangan Gross Profit Method

  • Hanya memberikan perkiraan kasar.
  • Tidak dapat digunakan untuk laporan keuangan yang diaudit.

5. Retail Method

Pebisnis retail menggunakan metode ini untuk memperkirakan nilai barang dagangan pada titik waktu tertentu.

Mereka cenderung menggunakan metode ini jika bisnis mereka menjual barang berbiaya rendah dalam jumlah besar, sehingga sulit menghitung persediaan dengan akurat.

Metode ini menggunakan cost-to-retail ratio, yaitu rasio total biaya barang yang tersedia untuk dijual dibagi dengan nilai eceran dari barang tersebut.

Metode ini paling berguna bagi retailer yang menerapkan persentase markup standar pada semua barang yang dibeli.

Contohnya, jika perusahaan biasanya membeli persediaan seharga Rp10.000.000, menambahkan markup 25%, dan menjual barang tersebut seharga Rp12.500.000, maka cost-to-retail ratio-nya adalah Rp10.000.000÷ Rp12.500.000 = 80%.

Langkah menghitung metode retail:

  1. Kalikan penjualan bersih periode berjalan dengan cost-to-retail ratio untuk mendapatkan perkiraan COGS.
  2. Gunakan rumus penilaian persediaan standar: jumlahkan beginning inventory dengan biaya pembelian persediaan tambahan hingga saat ini, lalu kurangi dengan perkiraan COGS.

Kelebihan Retail Method

  • Dapat digunakan untuk memperkirakan ending inventory pada titik tertentu di dalam periode akuntansi tanpa memerlukan penghitungan fisik.

Kekurangan Retail Method

  • Tidak cukup akurat untuk mengukur inventaris akhir, terutama untuk toko yang rentan terhadap shrinkage.
  • Harus didukung dengan perhitungan persediaan yang lebih akurat untuk keperluan akuntansi dan pajak.

Baca Juga: Inventory Plan (Recana Persediaan): Proses dan Analisanya

Contoh Perhitungan Ending Inventory

ending inventory 3

Setelah penjualan

Misalkan sebuah toko pakaian memulai bulan dengan persediaan 200 kaos, masing-masing seharga Rp300.000.

Jika selama bulan tersebut mereka menjual 150 kaos, maka sisa 50 kaos di persediaan akhir akan bernilai Rp15.000.000 (50 × Rp300.000) menggunakan rumus persediaan akhir.

Setelah membeli stok baru

Sekarang, misalkan sebuah toko buku memulai bulan dengan 100 buku seharga Rp150.000 per buku.

Di pertengahan bulan, mereka membeli lagi 100 buku dengan harga Rp180.000 per buku. Jika selama bulan tersebut mereka menjual total 120 buku, maka mereka akan memiliki sisa persediaan 80 buku.

Karena menggunakan metode akuntansi FIFO (First In, First Out), maka 100 buku pertama yang terjual dianggap memiliki harga pokok Rp150.000 per buku, dan 20 buku berikutnya dianggap memiliki harga pokok Rp180.000 per buku.

Dengan demikian, nilai persediaan akhir adalah:

20 buku × Rp180.000 = Rp3.600.000
60 buku × Rp150.000 = Rp9.000.000
Total persediaan akhir = Rp12.600.000

Setelah menghitung kerugian

Bayangkan sebuah toko sembako memulai bulan dengan persediaan senilai Rp150.000.000.

Selama bulan tersebut, mereka menambah persediaan senilai Rp75.000.000.

Namun, di akhir bulan mereka menemukan sebagian sayuran busuk, yang mengurangi nilai persediaan sebesar Rp7.500.000.

Jika selama bulan tersebut mereka menjual barang senilai Rp105.000.000, maka persediaan akhir mereka adalah:

Rp150.000.000 + Rp75.000.000 – Rp105.000.000 – Rp7.500.000 = Rp112.500.000

Baca Juga: Inventory Control: Pengertian, Metode, Manfaat, dan Langkah Prosesnya

Kesimpulan

Seiring bisnis Anda bertumbuh, manajemen inventaris bisa semakin rumit.

Menghitung ending inventory secara manual dengan spreadsheet akan sangat melelahkan dan rentan terhadap error.

Karena itulah, ada banyak bisnis yang menggunakan tool seperti software inventaris atau aplikasi kasir Kledo POS.

Kledo POS terintegrasi dengan software akuntansi Kledo yang memiliki fitur manajemen inventaris, menawarkan berbagai kemudahan untuk Anda mengelola persediaan Anda dan menghitung ending inventory.

Jika Anda ingin membuat penghitungan stok Anda menjadi lebih mudah, Anda bisa mencoba Kledo POS dengan klik tautan ini.

salsabilanisa

Tinggalkan Komentar

15 − 6 =