Mengenal Apa itu Pajak Penghasilan, Jenis, dan Tarifnya

pajak penghasilan

Pajak Penghasilan atau PPh adalah salah satu jenis pajak yang wajib dibayarkan oleh setiap warga negara. Oleh karena itu perhitungan pajak penghasilan menjadi sangat penting diketahui bagi Anda yang sudah berpenghasilan.

Pajak penghasilan dibebankan kepada seseorang yang sudah memiliki penghasilan yang diatur dalam undang-undang tentang pajak.

Disebutkan bahwa yang terkena pajak PPh adalah semua bentuk penghasilan, termasuk upah, gaji, tunjangan, honorarium, atau pembayaran lain yang berhubungan dengan jasa, kegiatan, jabatan atau pekerjaan.

Pada artikel ini kita akan menmbahas apa itu pajak penghasilan, jenis dan besaran tarifnya secara mendalam, jadi baca terus sampai selesai.

Apa itu Pajak Penghasilan?

pajak penghasilan

Pengertian Pajak Penghasilan atau PPh adalah pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri.

Dasar hukum PPh adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. UU ini mengalami empat kali perubahan, yakni:

  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan.

Kategori Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan dibedakan menjadi beberapa kategori yakni:

  • PPh yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi, yang terbagi atas pegawai serta bukan pegawai maupun pengusaha
  • PPh yang dibebankan atas penghasilan wajib pajak badan atau perusahaan, hingga objek yang dikenakan PPh itu sendiri

Objek Pajak Penghasilan

Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan  ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Namun demikian, terdapat beberapa jenis penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan, di antaranya adalah:

  1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan lainnya yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan harta hibahan yang  ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
  2. Warisan
  3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam  bentuk  natura  dan/atau kenikmatan  dari  Wajib  Pajak  atau Pemerintah, apabila diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak tertentu akan menjadi Penghasilan); dan
  4. Penghasilan lain sebagaimana tertera dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.

Subjek Pajak Penghasilan

Yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah:

Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Subjek PPh Dalam Negeri

Subjek pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri adalah WNI/WNA yang bekerja dan memperoleh penghasilan serta berdomisili (berkediaman tetap) di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau yang dalam satu tahun pajak ada di Indonesia dan mempunyai niat untuk tinggal di Indonesia.

Namun, tidak semua WNI/WNA dalam pengertian di atas dikategorikan sebagai wajib pajak penghasilan. Sebab, seseorang yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) senilai Rp 54 juta/tahun tidak wajib membayar pajak penghasilan.

Subjek PPh Luar Negeri

Subjek pajak penghasilan orang pribadi luar negeri adalah mereka yang tidak berdomisili di Indonesia dan tinggal kurang dari 183 hari di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan.

Orang tersebut dapat berada di luar negeri atau menjalankan usahanya di Indonesia dengan pergi-pulang. Namun, selama mendapatkan penghasilan dari usahanya tersebut, dia dikategorikan sebagai subjek pajak penghasilan.

Namun, bila orang tersebut setelah 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan menambah masa tinggalnya, dia bisa mengurus penggantian status subjek pajak ke Direktorat Jenderal Pajak dan berhak memperoleh keuntungan seperti hak membayar pajak secara angsuran selama satu tahun pajak.

Subjek Pajak Penghasilan Badan

Subjek PPh Badan Dalam Negeri

Subjek pajak penghasilan badan meliputi semua perusahaan yang melakukan aktivitas usahanya di Indonesia. Sebuah badan terkena kewajiban membayar pajak atau disebut subjek pajak penghasilan dalam negeri ketika mulai didirikan atau bertempat kedudukan atau memperoleh penghasilan di Indonesia.

Kewajiban perpajakan badan berakhir ketika dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. Setiap badan usaha dikategorikan sebagai subjek pajak penghasilan badan dalam negeri saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Namun, ada pengecualiannya yakni unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
  4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Subjek PPh Badan Luar Negeri

Subjek pajak penghasilan badan luar negeri adalah badan yang tidak berkedudukan atau didirikan di Indonesia tetapi menjalankan aktivitasnya dan memperoleh penghasilan di Indonesia.

Contoh badan yang menjadi subjek pajak penghasilan luar negeri adalah perusahaan A dari Singapura yang tidak memiliki kantor di Indonesia tetapi perusahaan tersebut memiliki karyawan yang secara berkala datang ke Indonesia untuk berjualan dan mendapatkan penghasilan.

Subjek Pajak Penghasilan Warisan

Warisan yang belum dibagi dikategorikan sebagai subjek pajak penghasilan jika berpotensi menjadi penghasilan. Salah satu contohnya adalah warisan berupa properti (bisa rumah, ruko, kantor, Gudang dll) yang disewakan.

Nah, pelaksanaan kewajiban perpajakan, baik kewajiban bayar pajak dan lapor pajak, dari subjek pajak warisan dapat diwakili oleh salah satu ahli waris, pengurus warisan maupun pelaksana wasiat.

Subjek Pajak Penghasilan Badan Usaha Tetap

Badan Usaha Tetap (BUT) adalah aset berupa tanah, gedung, mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Tempat usaha dari badan usaha tetap dapat tidak bertempat kedudukan di Indonesia selama ia melakukan aktivitas ekonomi yang memberikan penghasilan. Subjek penghasilan badan usaha tetap ini dapat berupa:

  • Tempat kedudukan manajemen.
  • Cabang perusahaan.
  • Kantor perwakilan.
  • Gedung kantor.
  • Pabrik.
  • Bengkel.
  • Gudang.
  • Ruang untuk promosi dan penjualan.
  • Pertambangan dan penggalian sumber alam.
  • Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
  • Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan.
  • Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
  • Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
  • Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
  • Agen atau pegawai perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
  • Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Jenis Pajak Penghasilan

PPh 21

Definisi PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri.

1. Objek PPh Pasal 21

Objek pajak penghasilan pasal 21 di antaranya:

  • Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur
  • Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima industri secara teratur berupa uang industri atau penghasilan sejenisnya
  • Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan industri yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat industri, tunjangan hari tua
  • Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah industri atau upah yang dibayarkan secara bulanan
  • Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
  • Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

Baca juga: Cara Menghitung Uang Pesangon Sesuai UU Cipta Kerja

2. Subjek yang dikenakan PPh 21

Jenis PPh 21 ini dikenakan pada wajib orang pribadi yang menerima penghasilan seperti penjelasan definisi PPh tersebut.

Kategori subjek yang dikenakan PPh 21 ini seperti pegawai, bukan pegawai, penerima pensiun maupun pesangon, anggota dewan komisaris, mantan pekerja dan peserta kegiatan.

3. Subjek Pemotong PPh 21

Namun jenis PPh yang dibebankan atau dikenakan wajib pajak orang pribadi tersebut tidak dibayarkan sendiri oleh yang bersangkutan.

Akan tetapi jenis PPh 21 ini dipotong atau dipungut oleh perusahan/pemberi kerja melalui pemotongan pajak PPh Pasal 21.

Pihak pemotong/perusahaan/pemberi kerja kemudian menyetorkan atau membayarkan PPh 21 yang dipotong dari wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan kena pajak tersebut ke kas negara.

Berikutnya, sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 21, akan memperoleh bukti pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak yang memotong penghasilan tersebut.

4. Tarif Pajak PPH 21

Tarif PPh Pasal 21 berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 yang memiliki NPWP dan tidak punya NPWP, adalah:

Tarif PPh 21 memiliki NPWP

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh No. 36/2008, perhitungan tarif pajak pribadi menggunakan tarif progresif. Atau sama halnya dengan tarif PPh Pasal 21 dengan ketentuan besar tarif adalah:

  • 5% untuk penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 per tahun
  • 15% untuk penghasilan Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 per tahun
  • 25% untuk penghasilan Rp250.000.000 sampai Rp500.000.000 per tahun
  • 30% untuk penghasilan di atas Rp500.000.000 per tahun
  • Untuk WP yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), dikenakan tarif 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP

Tarif PPh 21 tanpa NPWP

Bagi wajib pajak yang menerima penghasilan namun tidak memiliki NPWP, maka tarif pajak penghasilannya dikenakan 20% lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan terhadap yang memiliki NPWP, yakni:

  • Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 20% lebih tinggi dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
  • Ketentuan di atas diterapkan untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
  • Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, selisih pengenaan tarif sebesar 20% lebih tinggi tersebut diperhitungkan untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.

Baca juga: Ketahui Pajak Jasa Konstruksi Untuk Jadi Kontraktor yang Lebih Baik

PPh 22

Pengertoam PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor.

1. Objek PPh Pasal 22

Objek PPh Pasal 22 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 adalah:

  • Impor barang dan ekspor barang komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir
  • Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya
  • Pembayaran atas pembelian barang dengan mekanisme uang persediaan (UP) yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran
  • Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga dengan mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh KPA atau pejabat penerbit surat perintah membayar yang diberi delegasi oleh KPA
  • Pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
  • Penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, yang merupakan industri hulu, industri otomotif, dan industri farmasi
  • Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor
  • Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau importir
  • Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan
  • Penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang dilakukan oleh wajib pajak badan.

Pastikan Anda menghitung PPh 21 dengan lebih mudah melalui kalkulator PPh 21 yang bisa Anda gunakan secara gratis melalui tautan ini.

2. Subjek yang dikenakan PPh 22

Jenis PPh 22 ini dikenakan pada wajib pajak badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor.

3. Subjek pemotong PPh 22

Subjek yang memotong PPh Pasal 22 ini terbagi menjadi dua kategori utama, yakni:

Pemungut atau yang memotong PPh 22

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal 22 impor barang

2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang

3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP)

4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS)

5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:

  • PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero)
  • Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.

6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.

7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan.

Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh 22 saat penjualan

1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri

2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri

3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;

4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri hilir;

5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:

  • Mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan;
  • Menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.

6. Sesuai dengan PMK No. 90/PMK.03/2015, pemerintah menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Baca juga: Apa Itu EFIN dan Bagaimana Cara Mendapatkan EFIN Secara

4. Tarif PPh 22

Besar tarif atau pungutan pajak penghasilan pasal 22 adalah:

Atas impor

  • Bagi yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor
  • Bagi non-API = 7,5% x nilai impor
  • Bagi yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang

Atas pembelian barang

Pembelian barang ini dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD, yakni:

1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final)

Atas penjualan hasil produksi

Penjualan hasil produksi ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:

  • Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)

Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri

Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan, yaitu:

0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)

Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir

Impor beberapa komoditas tersebut bagi importir yang menggunakan API, dengan tarif sebesar:

0,5% x nilai impor.

Atas penjualan

  • Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20 miliar
  • Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10 miliar
  • Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
  • Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10 miliar dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
  • Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5 miliar dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk (BM) yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.

Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud di atas yang diterapkan terhadap wajib pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang dapat menunjukkan NPWP.

Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan PPh Pasal 22 yang bersifat tidak final.

Baca juga: Surat Setoran Pajak: Pengertian, Jenis, Fungsi, Komponen dan Cara Isinya

PPh 23

Pengertian jenis PPh Pasal 23 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

1. Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah (Objek PPh 23)

Objek jenis PPh atau pajak penghasilan pasal 23 ini di antaranya:

  • Dividen
  • Bunga
  • Royalti
  • Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain kepada Orang Pribadi
  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan
  • Imbalan sehubungan dengan jasa industri, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Khusus untuk objek PPh 23 atau objek pajak penghasilan adalah:

Secara terinci yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015, khusus untuk objek PPh 23 Jasa di antaranya:

  1. Penilai (appraisal)
  2. Aktuaris
  3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan
  4. Hukum
  5. Arsitektur
  6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape
  7. Perancang (design)
  8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT)
  9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas)
  10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas)
  11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara
  12. Penebangan hutan
  13. Pengolahan limbah
  14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services)
  15. Perantara dan/atau keagenan
  16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI)
  17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI
  18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
  19.  Mixing film
  20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, bannerpamphlet, baliho dan folder
  21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan
  22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website
  23. Internet termasuk sambungannya
  24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program
  25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
  26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
  27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat
  28. Maklon
  29. Penyelidikan dan keamanan
  30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer
  31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan
  32. Pembasmian hama
  33. Kebersihan atau cleaning service
  34. Sedot septic tank
  35. Pemeliharaan kolam
  36. Katering atau tata boga
  37.  Freight forwarding
  38. Logistik
  39. Pengurusan dokumen
  40. Pengepakan
  41. Loading dan unloading
  42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis
  43. Pengelolaan parkir
  44. Penyondiran tanah
  45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan
  46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit
  47. Pemeliharaan tanaman
  48. Permanenan
  49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau perhutanan
  50. Dekorasi
  51. Pencetakan/penerbitan
  52. Penerjemahan
  53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 UU PPh
  54. Pelayanan pelabuhan
  55. Pengangkutan melalui jalur pipa
  56. Pengelolaan penitipan anak
  57. Pelatihan dan/atau kursus
  58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM
  59. Sertifikasi
  60. Survey
  61. Tester
  62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

2. Subjek yang dikenakan PPh 23

Jenis PPh Pasal 23 ini dikenakan pada:

  • Wajib pajak dalam negeri
  • BUT

3. Subjek pemotong PPh 23

Pihak atau subjek yang memungut atau memotong jenis PPh Pasal 23 terbagi menjadi dua kategori, yakni:

1. Pemotong PPh 23 Bentuk Badan

  • Badan pemerintah
  • Subjek pajak badan dalam negeri
  • Penyelenggara kegiatan
  • Bentuk usaha tetap
  • Atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

2. Pemotong PPh 23 oleh Orang Pribadi

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (hanya memotong PPh Pasal 23 atas sewa saja) yang ditunjuk sebagai pemotong jenis PPh 23.

Harus ada Surat Keputusan Penunjukan (SKP) yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP), namun tidak ada format baku yang tersedia, yaitu:

  • Akuntan
  • Arsitek
  • Dokter
  • Notaris
  • Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas
  • Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

4. Tarif PPh 23

Besar tarif pajak penghasilan pasal 23 ditetapkan sebesar:

  • 15% dari DPP untuk pajak dividen, royalti, bunga, hadiah dan penghargaan
  • 2% dari DPP untuk objek pajak lainnya
  • 100% atau dua kali lipat tarif standar PPh 23, jika tidak memiliki NPWP

Pengenaan tarif PPh 23 yang mengalami kenaikan 2 kali lipat tarif standar karena tak punya NPWP ini maka besar tarifnya menjadi:

  • 30% dari DPP untuk pajak dividen, royalti, bunga, hadiah dan penghargaan
  • 4% dari DPP untuk objek pajak lainnya

Jumlah transaksi yang akan dikenakan angka tarif PPh yang naik 2 kali lipat ini adalah jumlah bruto sebelum Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tarif Khusus PPh 23

Pada tarif kategori objek pajak hadiah dan penghargaan diterapkan ketentuan khusus, yakni:

  • 25% dari DPP jika hadiah undian atau lotre yang dianggap sebagai penghasilan
  • 20% dari DPP jika penerima hadiah dan penghargaan ekspatriat, dan bukan termasuk BUT internasional
  • 15% dari DPP jika penerima adalah sebuah organisasi, termasuk BUT
  • Hadiah lainnya dan penghargaan, termasuk penghargaan karier akan dikenakan tarif yang sama seperti halnya tarif pajak yang berlaku menurut PPh 21

Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final

Pengertian PPh Pasal 4 ayat (2) atau juga disebut PPh Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas beberapa jenis penghasilan yang didapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final serta tidak dapat dikreditkan dengan pajak penghasilan terutang.

Istilah ‘Final’ di sini artinya pemotongan pajaknya dilakukan hanya sekali dalam sebuah masa pajak.

1. Objek PPh Pasal 4 ayat (2)/PPh Final

Objek jenis PPh atau pajak penghasilan pasal 4 ayat )2) atau PPh Final ini dikenakan pada jenis tertentu dari penghasilan atau pendapatan berupa:

  • Penghasilan berupa bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan lainnya serta diskonto sertifikat Bank Indonesia
  • Penghasilan berupa bunga dari obligasi swasta dan obligasi negara (SUN/Surat Utang Negara)
  • Penghasilan berupa bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing
  • Penghasilan berupa hadiah berupa lotre/undian
  • Penghasilan dari transaksi saham/dividen dan surat berharga lainnya
  • Penghasilan dari transaksi industri perdagangan di bursa
  • Penghasilan dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan mitranya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
  • Penghasilan dari transaksi atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
  • Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
  • Penghasilan dari usaha real estate
  • Penghasilan dari sewa atas tanah dan/atau bangunan
  • Pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan Pemerintah

Baca juga: Panduan Pendaftaran NPWP Badan Paling Mudah dan Cepat

2. Subjek yang dikenakan PPh 4 ayat (2)/PPh Final

Jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final ini dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final.

3. Subjek pemotong PPh 4 ayat (2)/PPh Final

Pemungutan jenis PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu.

Pihak pemungut ini terdiri dari wajib pajak badan yang ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2) dan wajib padak orang pribadi yang merupakan pemungut PPh pasal 4 ayat (2) tanpa ditunjuk, di antaranya:

1. Wajib Pajak Badan

Sebagai pemungut, wajib pajak badan ini ditunjuk untuk memotong jenis PPh Pasal 4 ayat (2), di antaranya:

  • Penerbit obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk
  • Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli
  • Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi
  • Penyelenggara undian
  • Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk sekali pembayar dividen
  • Pengusaha jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak

2. Wajib Pajak Orang Pribadi

Sebagai pemungut, wajib pajak orang Pribadi tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), di antaranya:

  • Disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak
  • Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar untuk objek pajak pengalihan hak atas tanah/bangunan

Wajib pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong jenis PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

  • Akuntan, arsitek, notaris, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas
  • Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, yang telah terdaftar sebagai wajib pajak dalam negeri

Alur pemotongan PPh 4 ayat (2)

Pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan.

Namun jika WP menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut.

Apabila WP menerima penghasilan yang merupakan objek jenis PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka WP tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.

Baca juga: Tips Agar Bisnis Katering Anda Selalu Menguntungkan

4. Tarif PPh Final Pasal 4 ayat (2)

PPh Final Pasal 4 ayat (2) ini dapat dikenakan terhadap jenis penghasilan, transaksi atau lainnya yang telah ditentukan pada objek-objek PPh 4 ayat (2) ini, di antaranya:

  • 20% untuk penghasilan dari deposito, tabungan, diskonto SBI (Surat Berharga Indonesia)
  • 5%-15% untuk penghasilan dari bunga obligasi
  • 0-10% untuk penghasilan dari simpanan koperasi
  • 0,1% untuk penghasilan atas penjualan saham

Pajak Penghasilan Jenis PPh Final PP 23/2018

Jenis PPh Final ini berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

1. Objek PPh Final PP 23/2018

Objek yang pajak pernghasilan final berdasarkan PP 23/2018 ini adalah penghasilan dari usaha yang dijalankan dengan jumlah penghasilan atau omzet/peredaran bruto hingga Rp4,8 miliar dalam setahun.

2. Subjek yang dikenakan PPh Final PP 23/2018

Sedangkan pihak atau subjek yang dikenakan jenis PPh Final PP 23/2018 ini adalah para pelaku usaha yakni usaha kecil dan menengah (UKM).

3. Subjek pemotong PPh Final PP 23/2018

Pelaku usaha sebagai subjek yang dikenakan jenis PPh Final PP 23/2018 ini menyetorkan sendiri kewajiban pajaknya setiap bulan pada tahun pajak berjalan.

4. Tarif PPh Final PP 23/2018

Besar tarif PPh Final untuk UKM berdasarkan PP No. 23/2018 ditetapkan sebesar 0,5% dari penghasilan atau total omzet penjualan (peredaran bruto) per bulan. Pembayaran PPh Final PP 23/2018 ini dibayarkan pada tanggal 10 setiap bulannya.

Banner 1 kledo

PPh Pasal 15

Definisi PPh Pasal 15 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atau dipungut dari wajib pajak yang bergerak pada industri-industri tertentu yang ditetapkan dalam UU PPh.

1. Objek PPh Pasal 15

Objek jenis PPh atau yang dikenakan pajak penghasilan pasal 15 di antaranya:

  • Semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima dari charter penerbangan dalam negeri
  • Penghasilan yang diperoleh dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri untuk usaha pelayaran
  • Semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai uang dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia maupun luar negeri untuk usaha pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
  • Nilai ekspor bruto yaitu semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri yang punya kantor perwakilan di Indonesia dari penyerahan barang pada orang pribadi atau badan di Indonesia
  • Jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk pemakaian bahan baku

2. Subjek yang dikenakan PPh 15

Jenis PPh 15 ini dikenakan pada:

  • Perusahaan pelayaran
  • Perusahaan pelayaran dalam negeri
  • Perusahaan pelayaran asing
  • Perusahaan maskapai penerbangan internasional
  • Perusahaan asuransi asing
  • Wajib pajak luar negeri/asing yang memiliki kantor perdagangan perwakilan di Indonesia tapi tidak memiliki perjanjian bilateral di bawah perjanjian pajak Indonesia (P3B/Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda)
  • Pihak yang melakukan kemitraan dalam bentuk perjanjian bangun-guna-serah (BOT/build-operate-transfer)

Baca juga: Apa itu Rasio Aktivitas? Pengertian, Manfaat, Rumus, dan Jenisnya

3. Subjek pemotong PPh 15

Sedangkan untuk pihak atau subjek yang memotong jenis PPh Pasal 15 adalah:

  • Pencharter yang merupakan badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, untuk objek pajak charter penerbangan dalam negeri
  • Perusahaan pelayaran yang apabila penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau terutang
  • Bagi perusahaan pelayaran dalam hal penghasilan diperoleh bukan berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka perusahaan pelayaran dalam negeri wajib menyetor sendiri PPh yang terutang
  • Dalam hal pengguna jasa adalah bukan pemotong pajak, maka perusahaan pelayaran dalam negeri wajib menyetor sendiri PPh terutang
  • Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang membayar/mencharter wajib melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau terutang untuk usaha pelayaran/penerbangan luar negeri
  • Penghasilan selain berdasarkan perjanjian charter, maka perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri wajib menyetor sendiri untuk usaha pelayaran/penerbangan luar negeri
  • Wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon (contract manufacturing) internasional, yang merupakan wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan jasa pembuatan atau perakitan barang berupa produk mainan anak-anak, dengan bahan-bahan, spesifikasi, petunjuk teknis dan penentuan imbalan jasa dari pihak pemesan yang berkedudukan di luar negeri dan mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak. PPh terutang disetor sendiri oleh wajib pajak.

4. Tarif PPh 15

Besar tarif pajak penghasilan pasal 15 di antaranya:

a. Atas ‘charter’ penerbangan dalam negeri

  • PPh terutang = 30% x Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NTPN)
  • NTPN = 6% x Peredaran Bruto
  • Tarif efektif PPh terutang = 1,8% x peredaran bruto (1,8% berasal dari 6% x 30%)
  • Pelunasan PPh sebesar 1,8% ini merupakan pembayaran PPh Pasal 23 yang dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.

b. Atas pelayanan dalam negeri

  • PPh terutang = 30% NTPN
  • NTPN = 4% x Peredaran Bruto
  • Tarif efektif PPh terutang = 30% x 4% Peredaran Bruto = 1.2% x Peredaran Bruto dan bersifat final

c. Atas pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri

  • Penghasilan neto bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri ditetapkan sebesar = 6% dari peredaran bruto
  • Besarnya pajak penghasilan bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri sebesar = 2,6% dari peredaran bruto dan bersifat final

d. Atas kantor perwakilan dagang asing di Indonesia

  • Penghasilan neto = 1% dari nilai ekspor bruto
  • Pajak penghasilan terutang = 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final
  • Khusus dari negara mitra P3B = tarif pajak terutang disesuaikan tarif BPT (Branch Profit Tax) dari suatu BUT tersebut

e. Atas kegiatan usaha jasa maklon internasional di bidang produksi mainan anak-anak

  • Penghasilan neto sebesar = 7% dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan baku
  • PPh terutang sebesar = 2,1% dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan baku
  • Ketentuan tarif norma sebesar = 7% berlaku sepanjang wajib pajak tidak mengadakan perjanjian penentuan harga transfer dengan DJP

PPh Pasal 19

pajak penghasilan

Dalam UU PPh No. 36/2008, pada Pasal 19 disebutkan:

(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.

(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).

Atas dasar itulah, diterbitkannya PMK No. 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan.

Artinya, perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.

1. Objek PPh 19 atau objek penilaian kembali aktiva

Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:

  • Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan
  • Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak

Baca juga: Mengetahui Unsur Pajak dalam Sistem Perpajakan Indonesia

2. Subjek PPh 19

Jenis PPh Pasal 19 ini dikenakan pada wajib pajak badan dalam negeri dan BUT, tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat.

3. Tarif PPh 19

  • Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan PPh bersifat final sebesar = 10%
  • Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus PPh yang terutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 bulan sesuai ketentuan.

Baca juga: Tips Menerapkan Strategi Cashback Pada Bisnis

PPh Pasal 24

Definisi PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri, di mana pembayaran pajaknya bisa dikreditkan.

Sehingga jumlah pajak yang dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah dibayarkan di luar negeri tersebut. Dengan demikian tidak terkena pajak berganda.

1. Objek PPh Pasal 24

Objek pajak penghasilan jenis PPh Pasal 24 ini dikenakan atas:

  • Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang memberikan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
  • Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.
  • Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak.
  • Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
  • Penghasilan BUT adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
  • Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada.
  • Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
  • Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu BUT adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

Penghasilan luar negeri yang bisa jadi pengurang pajak

Sumber penghasilan kena pajak yang bisa digunakan untuk memotong utang pajak di Indonesia adalah:

  • Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
  • Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda bergerak.
  • Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak bergerak.
  • Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
  • Pendapatan dari BUT di luar negeri.
  • Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan pertambangan.
  • Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
  • Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha tetap (BUT).

2. Subjek yang dikenakan PPh 24

Jenis PPh 24 ini dikenakan pada wajib pajak yang memiliki sumber penghasilan sebagai objek PPh Pasal 24.

3. Subjek pemotong PPh 24

Pihak atau subjek yang memotong pajak penghasilan jenis PPh Pasal 24 adalah wajib pajak badan maupun orang pribadi pemberi penghasilan atau dari pengalihan harta/aset di luar negeri.

4. Tarif PPh 24

Karena PPh Pasal 24 merupakan sebagai pengurang jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, maka perhitungan tarifnya menggunakan Pasal 17 ayat 1 UU PPh, yakni tarif pajak progresif.

PPh Pasal 25

Definisi PPh Pasal 25 adalah pajak yang dibayar secara angsuran setiap bulannya dalam tahun pajak berjalan dengan tujuan untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun.

1. Objek PPh Pasal 25

Objek yang dikenakan pajak penghasilan pasal 25 ini adalah suatu penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usaha yang dilakukan wajib pajak.

2. Subjek yang dikenakan PPh 25

Jenis PPh 25 ini dikenakan pada:

  • Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha, seperti sebagai pedagang pengecer atau penyerahan jasa
  • Wajib pajak badan yang melakukan suatu kegiatan usaha, seperti sebagai pedagang pengecer atau penyerahan jasa

3. Subjek pemotong PPh 25

Pajak penghasilan jenis PPh Pasal 25 ini tidak ada pihak yang memungut atau pemotongnya, akan tetapi wajib pajak badan atau wajib pajak pribadi yang melakukan usaha ini menyetor sendiri kewajiban PPh 25 ini dan tidak bisa diwakilkan.

4. Tarif PPh 25

Tarif jenis PPh Pasal 25 wajib pajak orang pribadi pengusaha atau badan tertentu adalah 0,75% dari jumlah peredaran bruto per bulan dari masing-masing tempat usaha. Pajak ini bersifat tidak final, sehingga dapat dikreditkan pada akhir tahun pajak.

PPh Pasal 26

Definisi pajak penghasilan pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain BUT dari pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, dan perwakilan perusahaan luar negeri.

1. Objek PPh Pasal 26

Objek atau penghasilan yang dikenakan jenis PPh Pasal 26 di antaranya:

  • Dividen
  • Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
  • Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
  • Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
  • Imbalan dan penghargaan
  • Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
  • Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
  • Keuntungan karena pembebasan utang

2. Subjek yang dikenakan PPh 26

Jenis PPh 26 ini dikenakan pada dua kategori wajib pajak yakni seorang individu atau perusahaan sebagai wajib pajak luar negeri yakni:

Pengoperasian Usaha di Indonesia

Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Memperoleh Penghasilan dari Indonesia

Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

3. Subjek pemotong PPh 26

Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran, seperti gaji, bunga, dividen, royalti dan sejenisnya kepada wajib pajak Luar Negeri, wajib memotong pajak penghasilan pasal 26 atas transaksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam PPh 26 ini.

4. Tarif PPh 26

Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Akan tetapi jika mengikuti perjanjian pajak (tax treaty) atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah, sesuatu ketentuan yang berlaku.

Pengenaan tarif pajak penghasilan pasal 26 ini juga didasarkan dari DPP atau jumlah bruto penghasilan. Besar tarif PPh 26 ditetapkan sebesar:

a. Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Jumlah Bruto

Tarif 20 persen dari jumlah bruto yang dikenakan atas:

  • Dividen
  • Bunga (termasuk premium, diskonto, insentif terkait jaminan pembayaran pinjaman)
  • Royalti, sewa, dan pendapatan lain terkait penggunaan aset/harta
  • Imbalan/insentif terkait jasa, pekerjaan, dan kegiatan
  • Hadiah dan penghargaan
  • Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
  • Premi swap dan transaksi lindung lainnya
  • Perolehan keuntungan dari penghapusan utang

b. Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Perkiraan Penghasilan Neto

Tarif 20 persen dari perkiraan penghasilan neto ini dikenakan atas:

1. Penghasilan dari laba bersih atas pendapatan dari penjualan aset di Indonesia dengan nilai lebih dari Rp10 juta untuk setiap jenis transaksi berupa: perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil dan motor, kapal pesiar dan pesawat terbang ringan.

2. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini untuk penjualan harta dengan jumlah persentase sebesar 25% dari harga jual.

3. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang pada perusahaan asuransi di luar negeri.

Besar perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan asuransi luar negeri adalah:

  • 0% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi asuransi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang
  • 10% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang
  • 5% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang
  • Pengalihan atau penjualan saham. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini 25% dari harga jual.

c. Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Laba Bersih Penjualan atau Pengalihan Saham Perusahaan

Laba bersih penjualan atau pengalihan saham perusahaan ini adalah antara perusahaan media atau perusahaan tujuan khusus yang didirikan.

Atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak yang memiliki hubungan khusus untuk suatu entitas atau BUT didirikan di Indonesia

d. Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari BUT di Indonesia

Tarif PPh 26 dari penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari BUT di Indonesia ini adalah yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak, suatu BUT di Indonesia.

Pengenaan tarif ini dikecualikan atas penghasilan tersebut jika penghasilan itu ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:

  • Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta Pendiri
  • Dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut
  • Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya paling lama 1 tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
  • Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya 2 tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersial

e. Tarif PPh 26 sebesar 0% hingga kurang dari 20%

Tarif ini diberlakukan untuk negara-negara yang berada dalam perjanjian pajak (tax treaty) dengan Indonesia yang dikenal sebagai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 29

Definisi PPh Pasal 29 adalah pajak penghasilan atau PPh Kurang Bayar yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (jenis PPh Pasal 21, jenis PPh 22, jenis PPh 23, jenis PPh 24) dan PPh Pasal 25.

1. Subjek yang dikenakan PPh Pasal 29

Jenis PPh 29 ini dikenakan pada:

  • Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu
  • Wajib pajak badan

Aturan melunasi kekurangan pembayaran pajak terutang

Wajib pajak wajib melunasi kurang bayar pajak yang terutang tersebut sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.

Jika tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak itu wajib dilunasi paling lambat 31 Maret bagi wajib pajak orang pribadi atau 30 April bagi wajib pajak badan setelah tahun pajak berakhir.

Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 21/26

Definisi PPh Pasal 21/26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

1. Objek PPh 21/26

Sesuai dengan definisi di atas, maka yang menjadi objek PPh 21/26 adalah:

  • Gaji
  • Honorarium
  • Upah
  • Tunjangan
  • Pembayaran lain dengan dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan lain

Apa perbedaan PPh 21 dan PPh 26?

Perbedaan PPh pasal 21 dan PPh Pasal 26 adalah terletak pada subjek yang dipotong, yakni jika PPh 21 diperuntukkan bagi WP Pribadi dalam negeri, sedangkan PPh 26 dikenakan pada WP Pribadi luar negeri (WNA/Warga Negara Asing).

2. Subjek yang dikenakan PPh 21/26

Sama seperti penjelasan pada pengertian di atas, maka subjek PPh 21/26 adalah wajib pajak pribadi karyawan/pegawai maupun PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang bekerja diperusahaan swatsa/instansi pemerintah maupun pekerja bebas atau pengusaha.

3. Subjek pemotong PPh Pasal 21/26

Pihak pemotong atau yang memungut pajak penghasilan pasal 21/26 ini sesuai UU PPh terkait jenis PPh 21 dan PPh pasal 26 ini sama seperti yang sudah dijelaskan di atas.

PPh Pasal 23/26

Pengertian dari jenis PPh Pasal 23/26 adalah pajak penghasilan yang berasal dari transaksi badan usaha Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun Non PKP dengan perusahaan terkait jenis transaksi tertentu sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Terkait objek dan subjek yang dikenakan serta pemotong PPh Pasal 23/26 sesuai UU PPh untuk jenis PPh Pasal 23 dan PPh pasal 26 ini sama seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Kesimpulan

Itulah pembahasan mendalam dan mendetail pajak penghasilan. Pajak dalam bisnis adalah hal yang harus Anda perhatikan, karena bisa saja Anda terjerat masalah hukum jika tidak melakukan pengelolaan dan pelaporan pajak dengan baik.

Tentu dalam melakukan penghitangan dan pelaporan pajak dalam bisnis, Anda harus menggunakan proses pencatatan pembukuan yang baik dan sesuai standar yang berlaku di Indonesia.

Sebisa mungkin, hindari proses manual yang memakan waktu dan rentan kesalahan dalam proses pembukuan dan mulailah beralih menggunakan software akuntansi dengan fitur perpajakan yang baik, salah satunya Kledo.

Kledo adalah software akuntansi berbasis cloud yang sudah dipercaya oleh lebih dari 10 ribu pengguna dari berbagai jenis bisnis untuk solusi pembukuan dan membantu dalam mengelola urusan perpajakan mereka.

Dengan menggunakan Kledo Anda bisa melakukan proses pencatatan penjualan dan pembelian, pencatatan PPN, PPh dan custom pajak, otomatsiasi lebih dari 30 jenis laporan keuangan, dan masih banyak lagi.

Jadi tunggu apalagi? Anda bisa menggunakan Kledo secara gratis selama 14 hari atau selamanya melalui tautan ini.

Sebagian materi diambil dari sini.

sugi priharto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nine + 6 =