Lebaran kemarin, media X (Twitter) pernah heboh karena unggahan salah satu penggunanya terkait lebaran surcharge. Pada unggahan itu, terlihat bahwa terdapat biaya tambahan yang nominalnya 10% dari total biaya belanja.
Surcharge adalah biaya tambahan yang dikenakan penjual untuk pembelinya. Dalam kasus ini, penjual menerapkan tambahan biaya secara sementara menjelang momen Idul Fitri.
Tapi, sebenarnya bolehkah bisnis menerapkan surcharge? Apakah ada peraturan yang mengelolanya? Lalu, bagaimana penerapan surcharge di berbagai sektor industri?
Artikel ini akan membahas serba-serbi surcharge mulai dari pengertian, contoh penerapan, pro dan kontra seputar masalah ini, serta aturan yang mengelolanya. Simak sampai selesai, ya!
Pengertian Surcharge
Pengertian surcharge adalah biaya, ongkos, atau pajak tambahan yang ditambahkan ke biaya barang atau jasa di luar ketentuan harga awal.
Biaya ini sering kali ditambahkan ke pajak yang sudah ada dan tidak termasuk dalam harga barang atau jasa yang ditetapkan. Sementara itu, jumlah biaya ini bervariasi dan dapat berupa jumlah tetap atau persentase.
Misalnya, pedagang menetapkan surcharge senilai 5% per transaksi. Nah, jika total harga barang Anda awalnya adalah Rp1.000.000, maka biaya akhir yang harus Anda bayarkan adalah Rp1.050.000.
Biaya surcharge biasanya muncul ketika pembeli bertransaksi menggunakan kartu kredit atau QRIS. Hal ini karena bank menetapkan tarif merchant discount rate (MDR) dengan besaran tertentu.
Pedagang menerapkan biaya ini biasanya karena membutuhkan pendapatan tambahan atau untuk menutupi biaya kenaikan harga komoditas.
Baca Juga: Biaya Periode: Pengertian, Cara Hitung, dan Contohnya
Baca juga: Pajak Tangguhan: Perlakuan dalam PSAK 46 dan Contoh Jurnalnya
Penjelasan Ekonomi Tentang Surcharge
Berbagai metode pembayaran seperti uang tunai, kartu kredit, dan kartu debit memiliki biaya dan manfaat yang berbeda bagi pedagang dan konsumen.
Memang lazimnya, pedagang menetapkan harga produk yang seragam, tak peduli apa pun metode pembayarannya.
Namun, penetapan harga seperti ini merugikan penjual, terutama jika konsumen memilih menggunakan kartu kredit.
Penyedia kartu kredit biasanya meminta biaya pemrosesan per transaksi, jadi mau tidak mau, pebisnis yang harus menanggungnya.
Selain itu, mereka juga harus menanggung biaya tidak langsung seperti bunga atas saldo barang atau jasa yang dijual menggunakan kredit.
Nah, untuk mengatasi pembebanan biaya ini, pedagang dapat menggunakan insentif penetapan harga melalui surcharging.
Dengan begini, mereka dapat mengarahkan pelanggan mereka agar membayar dengan cara yang paling murah untuk bisnis mereka.
Dengan memanfaatkan praktik ini, pedagang dapat memperoleh lebih banyak surplus konsumen menggunakan metode diskriminasi harga.
Banyak negara telah menghentikan praktik ini, dan banyak juga perusahaan kartu yang melarang pedagang mengenakan biaya tambahan untuk transaksi kartu. Hal ini guna mempertahankan permintaan konsumen atas layanan kartu kredit.
Dampak surcharge terhadap ekonomi
Dengan adanya surcharge, konsumen didorong untuk melakukan pembayaran menggunakan opsi yang lebih murah.
Mereka akan memilih menggunakan metode tradisional, seperti uang tunai, untuk menghindari biaya tambahan dalam memperoleh barang atau jasa.
Konsumen secara tidak langsung memberikan tekanan kompetitif pada penyedia platform pembayaran, yang secara tidak langsung dapat menurunkan biaya pembayaran pedagang.
Karena konsumen secara tidak langsung menurunkan biaya bagi penjual, maka bisnis dapat menawarkan harga yang lebih rendah untuk barang dan jasa kepada semua calon pelanggan.
Hal ini dapat menghasilkan peningkatan permintaan dan kesejahteraan konsumen secara keseluruhan.
Dengan tidak adanya surcharging, asumsinya adalah:
- Ada dampak negatif sosial dan ekonomi yang substansial terhadap kesejahteraan termasuk inflasi, penurunan daya beli konsumen karena pembayaran utang yang lebih besar serta tingkat bunga yang lebih rendah
- Subsidi silang yang tidak merata antara konsumen yang membayar dengan kartu dan mereka yang membayar dengan uang tunai.
Baca Juga: Jenis Kegiatan Ekonomi, Karakteristik, Tujuan dan Klasifikasinya
Contoh Penerapan Surcharge dalam Bisnis
Pada industri tekelomunikasi dan kabel
Industri seperti telekomunikasi dan kabel kadang menggunakan surcharge untuk mengimbangi sebagian biaya yang pemerintah kenakan pada bisnis mereka.
Ketika biaya ini meningkat, perusahaan dapat menyesuaikan jumlah biaya tambahan dengan harga barang yang mereka jual. Biaya tersebut tetap dibebankan kepada konsumen dengan cara tidak langsung.
Misalnya, jika peraturan menaikkan beban pada perusahaan sebesar Rp10.000 per pelanggan, perusahaan dapat meningkatkan biaya pemulihan regulasi sebesar Rp10.000.
Pada industri penerbangan
Pemerintah juga mengatur biaya surcharge dalam industri penerbangan, misalnya pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 68 Tahun 2022 tentang Biaya Tambahan (Fuel Surcharge).
Pada tahun 2022 kemarin, terjadi kenaikan harga bahan bakar avtur. Pemerintah pun mengizinkan maskapai untuk memberlakukan biaya tambahan jika kenaikan harga tersebut mempengaruhi biaya operasional hingga 10 persen lebih.
Kenaikan ini bersifat tidak mengikat. Artinya, maskapai penerbangan punya pilihan untuk menerapkan biaya tambahan atau tidak.
Pada industri FnB
Seperti kasus lebaran surcharge yang sudah disebutkan sebelumnya, praktik surcharging bisa terjadi di industri FnB juga.
Hal ini bisa terjadi karena terjadi kenaikan harga bahan baku dan biaya operasional selama masa high season.
Selain itu, surcharge ini juga berfungsi sebagai tambahan upah untuk karyawan yang bersedia bekerja di hari raya.
Biaya tambahan ini bersifat sementara, dan besarannya sekitar 10-15%, tergantung kebijakan restoran masing-masing.
Kebijakan surcharge di hari raya juga lumrah terjadi di negara lain seperti Singapura, ketika imlek tiba. Biasanya, restoran memberitahukan adanya biaya tambahan ini sebelumnya, sehingga pelanggan tidak terkejut.
Akan tetapi, masih ada restoran yang tidak mengkomunikasikannya kepada pelanggan, sehingga terjadilah kasus lebaran surcharge yang heboh di X tadi.
Baca Juga: Ekonomi Manajerial: Komponen, Konsep, Prinsip, dan Ruang Lingkupnya
Pro dan Kontra Menetapkan Surcharge bagi Pelaku Usaha
Bagi pelaku usaha, menetapkan surcharge bisa membawa keuntungan. Namun, ada juga kontra terkait praktik tersebut.
Pro
Berikut ini adalah beberapa keuntungannya:
- Menjaga Kestabilan Pendapatan: Dengan menetapkan surcharge, bisnis bisa menutupi biaya operasional seperti logistik, layanan, bahan baku, dan lain-lain. Dengan begitu, pendapatan bisnis tetap stabil.
- Membantu Pembayaran Tepat Waktu: Bisnis bisa menggunakan surcharge sebagai strategi untuk mendorong pembeli membayar tepat waktu. Misalnya, dengan menambahkan surcharge jika pembeli membayar di luar batas waktu.
Kontra:
- Larangan Membebankan Surcharge pada Konsumen: Bank Indonesia sendiri sudah melarang merchant untuk membebankan biaya tambahan pada konsumen yang membayar dengan kartu kredit. Jadi, jika Anda sebagai pemilik usaha tetap menjalankannya, maka Anda bisa mendapat sanksi berupa teguran, denda, atau pembatasan aktivitas.
- Mempengaruhi Hubungan dengan Pembeli: Membebankan biaya tambahan pada konsumen tak jarang membuat mereka merasa keberatan, apalagi jika pemilik usaha menetapkan biaya tanpa memberi tahu pembeli sebelumnya. Pembeli bisa merasa dirugikan dan beralih ke bisnis lain.
Walau begitu, surcharge bisa tetap menjadi cara untuk menekan pengeluaran dari biaya pemrosesan kartu kredit yang bisa cukup mencekik setiap bulan. Namun, Anda perlu melakukan riset terlebih dahulu sebelum menerapkannya.
Baca Juga: Tips Mendapatkan Kepercayaan Konsumen Dalam Bisnis
Peraturan Mengenai Surcharge di Indonesia dan Negara Lain
Di Indonesia
Dari definisi, surcharge adalah biaya tambahan di luar harga barang yang dikenakan. Sebenarnya, praktik ini legal-legal saja, kecuali jika ada peraturan yang melarangnya.
Nah, dilansir situs web resmi Ditjen PKTN, salah satu peraturan yang melarang surcharge adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran.
Melalui peraturan ini, pelaku usaha tidak boleh mengenakan biaya tambahan kepada konsumen untuk transaksi yang menggunakan mesin EDC maupun QRIS, baik itu transaksi online maupun offline.
Selain itu, BI juga menginstruksikan penerbit kartu kredit agar menghentikan segala bentuk kerja sama dengan pemilik usaha yang merugikan konsumen atau penerbit kartu kredit sendiri.
Di negara lain
Regulasi terkait surcharging atau penerapan biaya tambahan di negara lain berbeda-beda.
Misalnya, di New York, Amerika Serikat, ada larangan bagi bisnis untuk mengunggah harga tunai dan menambahkan biaya ketika pelanggan memilih kartu kredit.
Meski begitu, pemerintah mengizinkan bisnis untuk mengunggah harga kartu kredit dan mengenakan lebih sedikit biaya ketika pelanggan memilih tunai, cek, atau biaya lainnya.
Sementera itu, Inggris membatasi surcharging dengan beberapa pengecualian. Misalnya, ada aturan untuk pembayaran terhadap air, gas, dan listrik. Akan tetapi, untuk pembayaran untuk telepon publik, tidak ada regulasi.
Di Kanada, Visa dan MasterCard sepakat untuk mencabut larangan kontraktual mereka terhadap surcharging di Kanada. Pemilik usaha di Kanada dapat mulai menerapkan biaya tambahan kartu kredit 18 bulan setelah persetujuan pengadilan atas penyelesaian tersebut.
Baca Juga: Restrukturisasi Kredit: Pengertian, Fungsi, dan Jenis-Jenisnya
Kasus Penyalahgunaan Surcharging
Beberapa pemilik usaha menerapkan surcharge untuk memperoleh keuntungan tambahan, dan bukan untuk mengimbangi biaya kartu kredit yang dikeluarkan. Hal ini tentunya melanggar perlindungan konsumen.
Kasus ini pernah terjadi di Australia, ketika pemerintah masih mengizinkan surcharge. Pada Desember 2010, rata-rata surcharge untuk kartu kredit MasterCard, Visa, dan Diners Club adalah 1.8, 1.9, dan 4%.
Padahal, biaya dibebankan pada pedagang oleh kartu MasterCard dan Visa sekitar 0,6% sementara untuk kartu Diners Club sekitar 2,2%.
Selain itu, banyak pedagang yang berusaha mengurangi biaya transaksi telah menerapkan solusi yang tidak sesuai dengan peraturan.
Maka dari itu, peraturan telah gagal memenuhi standar transparansi harga dan keramahan konsumen yang ditetapkan oleh persyaratan kontrak dari penyedia kartu.
Baca Juga: 7 Kartu Kredit yang Cocok untuk Bisnis di Indonesia
Kesimpulan
Surcharge adalah biaya tambahan yang penjual kenakan kepada pembeli di luar harga barang asli. Sebenarnya, praktik surcharging bukanlah hal yang ilegal, kecuali untuk kartu kredit yang sudah jelas dilarang oleh Bank Indonesia.
Surcharge bisa menjadi cara untuk mengelola arus kas ketika bahan baku naik. Namun, sebaiknya Anda menginformasikan pada konsumen bahwa Anda menetapkan biaya tambahan, untuk menjaga kepercayaan mereka.
Untuk membantu Anda dalam mengelola transaksi, termasuk menetapkan biaya tambahan, gunakan bantuan aplikasi kasir modern seperti Kledo POS. Kledo POS akan membantu Anda mencatat transaksi dengan akurat, membuat laporan penjualan, dan menerapkan diskon dan biaya lainnya.
Jika Anda tertarik menggunakan Kledo POS, silakan klik tautan ini.
- 6 Langkah Sukses Membuka Cabang Restoran - 12 Desember 2024
- Marketing Funnel: Pengertian dan Tahapannya - 11 Desember 2024
- B2C Adalah: Pengertian dan Perbedaannya dengan B2B - 10 Desember 2024