Panduan Melacak dan Meningkatkan Efisiensi Keuangan Bisnis

efisiensi keuangan

Setiap bisnis, apa pun industrinya atau model bisnis yang dijalankan, beroperasi dengan mengoordinasikan empat sumber daya utama: uang, waktu, aset, dan manusia.

Beberapa bisnis mampu mengelola keempat sumber daya tersebut dengan baik, sehingga pendapatan dan keuntungan mereka meningkat.

Namun, ada juga yang kesulitan mengelolanya secara efektif, sehingga menyebabkan masalah arus kas, inefisiensi operasional, dan peluang yang terlewatkan.

Karena itu, artikel ini akan menjelaskan cara mengukur efisiensi keuangan bisnis Anda dan meningkatkannya dengan cara yang terbukti efektif.

Bagaimana Cara Melacak Efisiensi Keuangan Bisnis?

Cara paling efektif untuk mengukur efisiensi keuangan bisnis Anda adalah dengan menggunakan satu atau lebih rasio keuangan yang akan kami jelaskan di bawah ini.

Metrik-metrik ini bisa menunjukkan bagaimana kondisi bisnis Anda saat ini dan langkah apa yang bisa Anda ambil agar kinerja bisnis semakin baik di masa depan.

1. Operating Expense Ratio (Rasio Biaya Operasional)

Salah satu cara terpopuler untuk mengukur efisiensi keuangan organisasi adalah dengan melacak rasio biaya operasional (Operating Expense Ratio/OER).

Metrik ini mengukur biaya operasional bisnis Anda, yang dinyatakan dalam persentase terhadap pendapatan kotor. Semakin tinggi OER, semakin rendah efisiensi bisnis Anda.

Dengan memantau OER secara rutin, Anda dapat memperkirakan anggaran operasional dengan lebih akurat.

Rumus:

OER = Biaya Operasional ÷ Pendapatan Kotor

Misalnya, sebuah bisnis yang menghasilkan pendapatan tahunan sebesar Rp100.000.000 dan memiliki biaya operasional sebesar Rp40.000.000.

Maka, OER-nya adalah 40% ([Rp40.000.000 / Rp100.000.000] x 100). Dengan kata lain, perusahaan tersebut menghabiskan 60% pendapatannya untuk biaya operasional.

2. Asset Turnover Ratio (Rasio Perputaran Aset)

efisiensi keuangan 2

Cara lain untuk mengukur efisiensi keuangan adalah melalui rasio perputaran aset (Asset Turnover Ratio/ATR).

Rasio perputaran aset mengukur seberapa efektif perusahaan menggunakan sumber daya (misalnya, uang tunai, AR, inventaris, dan kekayaan intelektual) untuk menghasilkan pendapatan penjualan.

ATR : Pendapatan ÷ Aset

Misalnya, perusahaan makanan kemasan memiliki pendapatan bersih Rp5.000.000.000 dan aset senilai Rp2.500.000.000, rata-rata, selama satu kuartal.

Rasio perputaran asetnya adalah Rp2 (Rp5.000.000.000/Rp2.500.000.000), yang berarti perusahaan menghasilkan penjualan sebesar Rp2 untuk setiap Rp1 aset.

Rasio yang lebih tinggi umumnya menunjukkan penggunaan aset dan efisiensi operasional yang lebih baik, sementara rasio yang lebih rendah mungkin menunjukkan pemanfaatan aset yang kurang atau kelebihan modal.

Baca Juga: 10 Rekomendasi Sistem Keuangan Bisnis yang Layak Dicoba

3. AR Turnover Ratio (Rasio Perputaran Piutang Usaha)

Meskipun terdengar mirip dengan rasio perputaran aset, rasio perputaran piutang usaha (Accounts Receivable Turnover Ratio/AR Turnover Ratio) mengukur hal yang berbeda.

Untuk bisnis yang memberikan kredit kepada pelanggan, metrik ini melacak seberapa efisien Anda menagih pembayaran dari pelanggan.

Secara umum, semakin tinggi rasio ini, semakin baik kemampuan Anda dalam menagih pembayaran, dan semakin tepat waktu pula pelanggan dalam membayar.

Rumus:

AR Turnover Ratio = Penjualan kredit bersih ÷ Rata-rata piutang usaha

Misalnya sebuah produsen sepeda memiliki penjualan kredit bersih per kuartal sebesar Rp500.000.000.

Pada awal kuartal, total piutang usaha adalah Rp50.000.000; di akhir kuartal, jumlahnya Rp70.000.000.

Rata-rata dari dua angka tersebut adalah Rp60.000.000

Jika kedua variabel ini dimasukkan ke dalam rumus AR Turnover Ratio, hasilnya menunjukkan bahwa produsen tersebut mampu menagih piutang rata-rata sebanyak 8,33 kali per kuartal (Rp500.000.000 ÷ Rp60.000.000 = 8,33) — atau kira-kira setiap 11 hari sekali (90 hari ÷ 8,33 = 10,8).

Secara umum, semakin tinggi nilai AR Turnover Ratio, semakin efisien bisnis tersebut dalam mengubah penjualan kredit menjadi kas.

4. Inventory Turnover Ratio (Rasio Perputaran Persediaan)

efisiensi keuangan 1

Seberapa efisien perusahaan Anda mengelola persediaan? Anda dapat mengetahuinya dengan mengukur rasio perputaran persediaan (Inventory Turnover Ratio/ITR).

ITR menghitung seberapa sering rata-rata persediaan Anda terjual habis selama periode pengukuran. Semakin cepat persediaan berputar, semakin tinggi ITR.

ITR yang tinggi bisa jadi hal baik maupun buruk. Bisa jadi menandakan bahwa penjualan Anda sangat kuat sehingga persediaan terus terjual.

Namun, bisa juga berarti jumlah persediaan Anda tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan penjualan.

Standar ITR berbeda-beda di setiap industri, sehingga ITR yang dianggap “baik” untuk satu bisnis bisa jadi tidak memadai untuk bisnis lain.

Rumus:

ITR = COGS ÷ Nilai rata-rata inventaris

Jika dalam satu tahun sebuah toko buku retail memiliki COGS (HPP) sebesar Rp600.000.000 dan nilai rata-rata persediaan sebesar Rp200.000.000, maka Inventory Turnover Ratio (ITR) toko tersebut adalah 3 (Rp600.000.000 ÷ Rp200.000.000 = 3).

Artinya, toko tersebut berhasil menjual dan mengganti persediaannya sebanyak tiga kali dalam setahun.

Baca Juga: Strategi Keuangan: Pengertian, Komponen, dan Tips Mengelolanya

5. Customer Acquisition Cost (CAC / Biaya Akuisisi Pelanggan)

Memang, mempertahankan pelanggan lama jauh lebih murah dibandingkan mendapatkan pelanggan baru.

Namun, jika bisnis Anda tidak memperoleh pelanggan baru, maka pertumbuhan bisnis akan terhambat.

Rumus:

CAC = Total biaya pemasaran ÷ Total pelanggan baru yang diperoleh

Misalnya dalam satu kuartal sebuah perusahaan mengeluarkan Rp250.000.000 untuk biaya pemasaran dan berhasil mendapatkan 200 pelanggan baru.

Maka CAC-nya adalah Rp1.250.000 per pelanggan (Rp250.000.000 ÷ 200).

Dari total biaya tersebut, Rp50.000.000 dialokasikan khusus untuk kampanye iklan di LinkedIn dan berhasil memperoleh 25 pelanggan baru.

Maka CAC untuk kampanye LinkedIn adalah Rp2.000.000 per pelanggan (Rp50.000.000 ÷ 25).

6. LTV-CAC Ratio (Rasio LTV-CAC)

Jika Anda ingin melihat return on investment (ROI) dari setiap pelanggan, gunakan rasio LTV-CAC.

Dalam metrik ini, LTV (Lifetime Value) adalah nilai seumur hidup pelanggan yang telah dihitung, kemudian dibagi dengan rata-rata biaya akuisisi pelanggan (CAC).

Rasio LTV-CAC bukan hanya melihat berapa biaya untuk mendapatkan pelanggan baru, tetapi juga menganalisis seberapa menguntungkan pelanggan baru tersebut.

Semakin tinggi rasio LTV-CAC, semakin efisien aktivitas akuisisi pelanggan Anda, dan semakin menguntungkan pelanggan baru bagi bisnis.

Rumus LTV:

LTV = Rata-rata nilai transaksi x (Jumlah transaksi x Periode retensi pelanggan)

Misalnya, rata-rata seorang pelanggan berbelanja Rp2.000.000 per transaksi, melakukan satu pembelian setiap kuartal (4 kali setahun), dan biasanya bertahan sebagai pelanggan selama 3 tahun.

Maka LTV (Lifetime Value) pelanggan tersebut adalah:
Rp2.000.000 x (4 x 3) = Rp24.000.000

Jika CAC (Customer Acquisition Cost) sebelumnya adalah Rp1.250.000, maka rumus menghitung rasio LTV:CAC adalah:

LTV:CAC ratio = LTV ÷ CAC

Rp24.000.000 ÷ Rp1.250.000 = 19,2

Artinya, untuk setiap Rp1.000 yang dikeluarkan untuk memperoleh pelanggan baru, bisnis dapat menghasilkan Rp19.200 dalam bentuk pendapatan selama masa hidup pelanggan tersebut.

Rasio ini termasuk sangat baik, jauh di atas standar minimum yang umum digunakan, yaitu menghasilkan Rp3 untuk setiap Rp1 yang dikeluarkan dalam akuisisi pelanggan.

Baca Juga: 16 Konsep Dasar Keuangan yang Wajib Diketahui Pelaku Bisnis

7. Sales Efficiency (Efisiensi Penjualan)

efisiensi keuangan 4

Efisiensi penjualan melacak seberapa efisien organisasi Anda dalam menghasilkan penjualan.

Metrik ini membandingkan pendapatan penjualan dengan biaya penjualan dan pemasaran yang dikeluarkan untuk mendapatkan penjualan tersebut.

Semakin tinggi tingkat efisiensi penjualan, semakin besar tingkat ROI dari penjualan dan pemasaran Anda serta semakin sukses bisnis Anda.

Anda dapat menghitung efisiensi penjualan secara bulanan, kuartalan, atau tahunan.

Rumus:

Sales Efficiency Ratio = Pendapatan ÷ Biaya penjualan dan pemasaran

Misalnya sebuah dealer mobil ingin beralih ke strategi digital marketing dan ingin mengetahui apakah perubahan tersebut efektif setelah kuartal pertama.

Jika dealer tersebut memperoleh pendapatan sebesar Rp90.000.000.000 dan mengeluarkan biaya pemasaran digital sebesar Rp1.870.000.000, maka:

Sales Efficiency Ratio-nya adalah: Rp90.000.000.000 ÷ Rp1.870.000.000 = 48,13

Artinya, untuk setiap Rp1.000 yang dikeluarkan untuk pemasaran, dealer berhasil menghasilkan Rp48.130 dalam bentuk pendapatan.

8. Net Revenue Retention (NRR / Retensi Pendapatan Bersih)

Net revenue retention (NRR) adalah cara untuk melacak kepuasan pelanggan terhadap produk yang Anda tawarkan.

Ini termasuk metrik retensi pelanggan. NRR mengukur persentase pendapatan berulang (recurring revenue) yang dihasilkan dari pelanggan yang sudah ada.

Semakin puas pelanggan Anda, semakin tinggi tingkat NRR.

Rumus:

NRR = ((Pendapatan awal + Pendapatan ekspansi – Pendapatan downgrade – Pendapatan churn)÷ Pendapatan awal) x 100

Misalnya sebuah toko elektronik yang menjual kontrak layanan laptop. Jika:

  • Pendapatan awal = Rp100.000.000
  • Pendapatan ekspansi = Rp20.000.000
  • Pendapatan downgrade = Rp5.000.000
  • Pendapatan churn (hilang karena pelanggan berhenti) = Rp10.000.000

Maka perhitungannya adalah:
NRR = [((Rp100.000.000 + Rp20.000.000 – Rp5.000.000 – Rp10.000.000) ÷ Rp100.000.000] x 100
NRR = (Rp105.000.000 ÷ Rp100.000.000) x 100 = 105%

Artinya, perusahaan berhasil menumbuhkan pendapatannya dari pelanggan yang sudah ada sebesar 5%, yang kemungkinan besar menunjukkan tingkat kepuasan pelanggan yang baik.

Baca Juga: Tips dan Metrik Manajemen Keuangan Bisnis UKM Serta Tantangannya

9. Human Capital Efficiency (Efisiensi Modal Manusia)

Seberapa efektif perencanaan jumlah karyawan di organisasi Anda? Hal ini bisa Anda ketahui dengan menghitung human capital efficiency.

Metrik ini membandingkan jumlah karyawan dengan total pendapatan yang dihasilkan.

Karena karyawan merupakan beban biaya terbesar dalam bisnis, penting bagi perusahaan untuk mendapatkan dampak maksimal dari tenaga kerja yang dimiliki.

Rumus:

Human Capital Efficiency = Pendapatan atau laba ÷ Jumlah karyawan

Misalnya sebuah pabrik dengan 500 karyawan memproduksi barang yang menghasilkan pendapatan tahunan sebesar Rp50.000.000.000.

Maka rasio efisiensi modal manusia berdasarkan pendapatan adalah:

Rp50.000.000.000 ÷ 500 = Rp100.000.000 pendapatan per karyawan

Jika total biaya operasional perusahaan adalah Rp40.000.000.000, sehingga tersisa laba bersih Rp10.000.000.000, maka rasio efisiensi modal manusia berdasarkan laba adalah:

Rp10.000.000.000 ÷ 500 = Rp20.000.000 laba per karyawan

Dengan demikian, pendapatan per karyawan mencerminkan produktivitas keseluruhan, sementara laba per karyawan memberikan gambaran lebih tepat mengenai seberapa efisien tenaga kerja berkontribusi terhadap keuntungan perusahaan.

10. Rule of 40 (Aturan 40)

Cara terakhir untuk mengukur efisiensi keuangan bisnis Anda adalah dengan metrik yang disebut Rule of 40.

Disebut demikian karena menurut para ahli, hasil dari metrik ini idealnya 40% atau lebih, meskipun kenyataannya hanya sekitar sepertiga bisnis yang bisa mencapainya.

Rule of 40 mengukur gabungan antara pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan.

Jika totalnya lebih dari 40%, maka bisnis Anda dianggap efisien secara finansial dan berada pada posisi yang baik untuk pertumbuhan berkelanjutan.

Rumus:

Rule of 40 = Persentase tingkat pertumbuhan + Persentase margin laba

Rule of 40 banyak digunakan di perusahaan software. Misalnya, sebuah startup software di tahun keduanya mengalami pertumbuhan bisnis sebesar 50% year-over-year, tetapi mengalami penurunan margin laba sebesar 5%.

Maka perhitungannya adalah:
50% + (–5%) = 45%

Hasil ini menunjukkan perusahaan memiliki keseimbangan yang sehat antara pertumbuhan dan profitabilitas, karena angkanya berada di atas standar 40% yang dianggap sebagai tolok ukur efisiensi finansial yang baik.

Baca Juga: 10 Tantangan Pengelolaan Keuangan pada Bisnis dan Cara Mengatasinya

Tips Meningkatkan Efisiensi Keuangan Bisnis Anda

efisiensi keuangan 3

1. Menghilangkan hambatan operasional

Terlalu banyak aturan, proses, dan prosedur dapat memperlambat operasional serta mengurangi efisiensi keuangan.

Hambatan umum mencakup hal-hal seperti:

  • Melakukan tugas secara manual
  • Sistem bisnis yang tidak saling kompatibel
  • Supplier yang tidak handal
  • Kerusakan pada peralatan
  • Kekurangan tenaga kerja.

Dengan terus memantau key performance indicator (KPI) dan rasio keuangan, perusahaan dapat mengidentifikasi inefisiensi keuangan dan menentukan prioritas perbaikan.

Otomatiasi bisa menjadi solusi, tetapi Anda juga bisa membentuk tim untuk memetakan proses ideal bisnis Anda.

Dari sana, tim dapat mengidentifikasi masalah yang menghalangi tercapainya proses ideal dan mulai menghilangkan hambatan tersebut.

2. Meningkatkan kerja sama antar departemen

Ketika departemen bekerja secara terpisah (silo), maka bisnis akan semakin inefisien.

Misalnya, tim keuangan harus membuang waktu mengumpulkan data dari departemen lain, sementara tim sales membuat janji ke pelanggan tanpa tahu apakah perusahaan mampu memenuhinya.

Karena itu, kerja sama antar departemen sangat penting untuk efisiensi keuangan.

Untuk memperbaikinya, perusahaan harus mendorong kolaborasi lintas departemen dan menyatukan tujuan.

3. Meningkatkan visibilitas data

Ketika pemimpin bisnis dapat menemukan dan mengakses data dengan cepat tanpa harus mencari di spreadsheet atau email, mereka bisa lebih mudah melihat tren, mendeteksi potensi masalah sejak dini, dan menangkap peluang pertumbuhan.

Perusahaan dapat meningkatkan visibilitas data dengan menggunakan sistem terintegrasi yang mengumpulkan serta membagikan data secara real-time, lengkap dengan notifikasi untuk perubahan penting.

Jenis data yang bisa dikumpulkan antara lain:

  • Data operasional: tingkat produksi, pemanfaatan peralatan, dan tingkat persediaan.
  • Data pelanggan: frekuensi pembelian, tingkat retensi pelanggan, survei kepuasan.
  • Data karyawan: metrik produktivitas, tingkat turnover, penilaian keterampilan.
  • Data rantai pasok: perputaran persediaan, biaya pengiriman, kinerja pemasok.
  • Data pasar: harga kompetitor, promosi, dan tingkat pertumbuhan industri.
  • Data produk: tingkat retur, analisis cacat, biaya produksi per produk.
  • Data kepatuhan: catatan keselamatan, laporan insiden, dan dokumentasi untuk kepatuhan finansial.
  • Data pemasaran: traffic website, metrik keterlibatan media sosial.
  • Data teknologi/TI: downtime sistem, insiden keamanan siber, dan kerentanan sistem.

Baca Juga: Contoh Laporan Keuangan Sederhana dalam Bisnis

4. Standarisasi proses organisasi

efisiensi keuangan 5

Proses organisasi yang tidak konsisten antar departemen sering kali menyebabkan inefisiensi, peningkatan kesalahan, serta kesulitan dalam melacak kinerja.

Standarisasi dapat mengatasi hal ini dengan menetapkan alur kerja dan dokumentasi yang konsisten untuk aktivitas rutin, seperti persetujuan pembelian, pelaporan biaya, dan manajemen vendor.

Standarisasi juga menyederhanakan pelatihan karyawan, memastikan kepatuhan regulasi, serta membantu mengidentifikasi proses mana yang dapat diotomatisasi.

5. Membuat proyeksi keuangan

Proyeksi keuangan membantu bisnis mengantisipasi kebutuhan finansial, tantangan, dan peluang pertumbuhan di masa depan dengan menganalisis data historis, tren pasar, serta tujuan bisnis.

Dengan cara ini, perusahaan dapat merencanakan dan memitigasi risiko secara proaktif, seperti risiko akibat fluktuasi musiman, perubahan ekonomi, maupun kebutuhan sumber daya.

Proyeksi sebaiknya diperbarui secara rutin sesuai dengan informasi terbaru.

Sebagai contoh, misalkan proyeksi sebuah produsen menunjukkan potensi masalah arus kas pada kuartal ketiga.

Dengan informasi tersebut, perusahaan dapat menegosiasikan perpanjangan tempo pembayaran dengan pemasok atau menawarkan diskon pembayaran lebih awal kepada pelanggan.

Langkah ini dapat mengurangi kebutuhan pinjaman jangka pendek dan menjaga kelancaran arus kas.

6. Menyederhanakan manajemen arus kas

Arus kas yang tidak terprediksi sering mengakibatkan masalah pada utang usaha, hubungan dengan pemasok, tingkat persediaan, hingga pembayaran gaji.

Ketika uang keluar lebih besar daripada uang masuk, bahkan bisnis yang sebenarnya menguntungkan bisa mengalami krisis kas.

Solusinya adalah memantau piutang dan utang Anda, terutama dengan software akuntansi seperti Kledo.

Kledo memiliki fitur laporan hutang piutang yang memberikan informasi mendetail mengenai utang dan piutang yang dimiliki oleh perusahaan per masing-masing kontak.

Dengan fitur ini, Anda bisa memantau status utang piutang setiap pelanggan atau vendor, lalu melakukan tindakan yang sesuai seperti mengingatkan pembayaran atau melacak piutang yang sudah jatuh tempo.

Tertarik menggunakan Kledo untuk bisnis Anda? Klik gambar di bawah ini untuk mendaftar.

kledo banner 2

Baca Juga: Cara Efektif Melakukan Kontrol Keuangan dalam Bisnis

Kesimpulan

Untuk mengelola keuangan bisnis secara efisien, Anda harus bisa mengelola uang, waktu, aset, dan tenaga kerja secara optimal demi mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan.

Dengan mengukur dan memantau metrik yang tepat, menerapkan strategi-strategi di atas, dan menggunakan teknologi modern, bisnis Anda bisa terus memperbaiki operasional, mendapat arus kas yang stabil, dan beradaptasi dengan kondisi pasar yang terus berubah.

sugi priharto

Tinggalkan Komentar

nineteen − 17 =